Ketika air bah merobek pemukiman di Aceh dan merenggut ratusan nyawa, ketika rumah-rumah di Sibolga dan Medan hanyut seperti sampah sungai, dan ketika ribuan warga mengungsi tanpa kepastian hidup, ada satu hal yang terasa jelas: Sumatera dibiarkan bertarung sendirian.
Rakyat Kehilangan Rumah, Pejabat Kehilangan Sensitivitas
Setiap kali bencana datang, pola reaksinya selalu sama seperti kaset rusak:
-
Pemerintah lambat merespons
-
Bantuan datang tersendat
-
Koordinasi kacau
-
Data korban simpang siur
Namun ada satu hal yang tidak pernah terlambat: rombongan pejabat berseragam lengkap datang untuk berfoto di atas puing-puing kesedihan warga.
Hutan Gundul, Bukit Dikepras, Sungai Dipersempit—Siapa yang Bertanggung Jawab?
Ini adalah akibat dari:
-
Pembalakan liar yang dibiarkan bertahun-tahun
-
Tambang yang membuat bukit-bukit botak
-
Sungai yang dipersempit demi proyek tanpa kajian
-
Alih fungsi lahan masif yang hanya menguntungkan segelintir orang
Sumatera Menjadi Kuburan Statistik
Hingga hari ini, laporan resmi mencatat:
-
Ratusan warga Aceh meninggal
-
Lebih dari 300 warga Sumut tewas, termasuk dari Sibolga & Medan
-
Ratusan lainnya hilang, mungkin tak akan ditemukan
-
Ribuan luka-luka dan lebih dari 800.000 mengungsi
Pemerintah Harus Berhenti Sibuk Mencuci Tangan
-
Hentikan segera izin tambang dan pembalakan di daerah rawan.
-
Perbaiki sistem peringatan dini yang selama ini hanya jadi pajangan kantor.
-
Bangun ulang tata ruang dengan keberanian politik, bukan kompromi dengan pengusaha.
-
Audit total kerusakan lingkungan di Aceh–Sumut–Sumbar.
-
Jadikan bencana ini peringatan terakhir, bukan festival tahunan air mata.
Sumatera Menangis Karena Kita Lalai Menjaga Rumah Kita
— Prasetyo Budi
