-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Sumatera yang Terluka: Ketika Rakyat Tenggelam, Para Penguasa Sibuk Berfoto

Kamis, 11 Desember 2025 | Desember 11, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-10T18:46:43Z

QBeritakan.com - Bencana yang menimpa Aceh, Sumatera Utara, dan beberapa wilayah Sumatera lainnya bukan sekadar peristiwa alam. Ini bukan sekadar “hujan ekstrem”, “fenomena cuaca”, atau istilah teknis lain yang selalu dijadikan tameng untuk menutupi kenyataan pahit: ini adalah kegagalan manusia, kegagalan kebijakan, dan kegagalan negara melindungi warganya.

Ketika air bah merobek pemukiman di Aceh dan merenggut ratusan nyawa, ketika rumah-rumah di Sibolga dan Medan hanyut seperti sampah sungai, dan ketika ribuan warga mengungsi tanpa kepastian hidup, ada satu hal yang terasa jelas: Sumatera dibiarkan bertarung sendirian.


Rakyat Kehilangan Rumah, Pejabat Kehilangan Sensitivitas

Setiap kali bencana datang, pola reaksinya selalu sama seperti kaset rusak:

  • Pemerintah lambat merespons

  • Bantuan datang tersendat

  • Koordinasi kacau

  • Data korban simpang siur

Namun ada satu hal yang tidak pernah terlambat: rombongan pejabat berseragam lengkap datang untuk berfoto di atas puing-puing kesedihan warga.

Seakan-akan kamera jauh lebih penting daripada evakuasi.
Seakan-akan peran mereka hanya sebagai model foto peduli bencana.

Padahal rakyat tidak butuh foto.
Rakyat butuh tindakan.


Hutan Gundul, Bukit Dikepras, Sungai Dipersempit—Siapa yang Bertanggung Jawab?

Bencana ini bukan datang dari langit begitu saja.
Air bah yang menenggelamkan desa-desa itu bukan sekadar hujan.

Ini adalah akibat dari:

  • Pembalakan liar yang dibiarkan bertahun-tahun

  • Tambang yang membuat bukit-bukit botak

  • Sungai yang dipersempit demi proyek tanpa kajian

  • Alih fungsi lahan masif yang hanya menguntungkan segelintir orang

Setiap pohon yang ditebang tanpa reboisasi adalah undangan untuk longsor.
Setiap bukit yang dikeruk adalah undangan untuk banjir bandang.
Setiap kebijakan lingkungan yang tumpul adalah tiket menuju bencana berikutnya.

Tetapi ketika rakyat meninggal, yang disalahkan selalu hujan.
Bukan kebijakan.
Bukan pejabat.
Bukan para cukong.


Sumatera Menjadi Kuburan Statistik

Hingga hari ini, laporan resmi mencatat:

  • Ratusan warga Aceh meninggal

  • Lebih dari 300 warga Sumut tewas, termasuk dari Sibolga & Medan

  • Ratusan lainnya hilang, mungkin tak akan ditemukan

  • Ribuan luka-luka dan lebih dari 800.000 mengungsi

Tetapi angka-angka itu tak pernah mewakili rasa sakit keluarga yang kehilangan.
Anak kehilangan orang tua.
Ibu kehilangan anak.
Desa kehilangan tetangga.
Dan negara kehilangan rasa malu.


Pemerintah Harus Berhenti Sibuk Mencuci Tangan

Sampai kapan rakyat harus mati dulu baru pemerintah bertindak?
Sampai kapan mitigasi hanya jadi bahan seminar dan bukan tindakan nyata?
Sampai kapan Sumatera harus membayar mahal karena pejabat gagal tegas pada perusak lingkungan?

Cukuplah.
Kalau negara ini masih punya nurani, maka:

  1. Hentikan segera izin tambang dan pembalakan di daerah rawan.

  2. Perbaiki sistem peringatan dini yang selama ini hanya jadi pajangan kantor.

  3. Bangun ulang tata ruang dengan keberanian politik, bukan kompromi dengan pengusaha.

  4. Audit total kerusakan lingkungan di Aceh–Sumut–Sumbar.

  5. Jadikan bencana ini peringatan terakhir, bukan festival tahunan air mata.


Sumatera Menangis Karena Kita Lalai Menjaga Rumah Kita

Bencana ini adalah surat terbuka dari alam:
“Jika kalian terus merusak aku, jangan salahkan aku ketika aku merusak balik.”

Dan sekarang, pertanyaannya tinggal satu:
Apakah kita benar-benar siap berubah, atau kita menunggu Sumatera tenggelam seluruhnya?

Karena percaya atau tidak—
Alam tidak pernah menghukum.
Alam hanya mengembalikan apa yang kita lakukan padanya.

Prasetyo Budi

Tag Terpopuler

Artikel Pilihan

×
Berita Terbaru Update