QBeritakan.com — Banjir yang melanda Sumatera Barat hingga Aceh kembali membuka borok lama yang selama ini ditutupi oleh dalih “musibah alam”. Padahal, jika kita bicara jujur, sebagian besar bencana ini adalah buah dari kelalaian kita sendiri—baik pemerintah, pelaku usaha, maupun masyarakat.
Hutan di banyak wilayah Sumatera terus ditebang tanpa pengawasan serius. Bukit-bukit digunduli atas nama investasi. Sungai dipersempit dan dipenuhi sampah tanpa kontrol. Namun ketika banjir bandang datang menghantam permukiman, semua pihak pura-pura kaget, seolah tragedi ini turun dari langit tanpa sebab.
Yang lebih menyakitkan, penegakan hukum terhadap perusak lingkungan berjalan lambat, bahkan sering mandul.
Izin-izin pembukaan lahan muncul begitu mudah, sementara upaya restorasi alam berjalan seolah hanya formalitas. Di sisi lain, masyarakat juga tidak lepas dari kesalahan: membuang sampah sembarangan sudah dianggap kebiasaan, bukan pelanggaran.
Setiap kali bencana terjadi, pejabat datang membawa kamera dan rombongan, memberi pernyataan simpati, lalu berjanji melakukan perbaikan. Namun setelah air surut dan berita mereda, janji tinggal janji. Tahun depan bencana yang sama akan datang lagi—lebih besar, lebih mematikan, dan lebih mahal kerugiannya.
Kita tidak bisa terus bersembunyi di balik kata “takdir”.
Karena ketika alam murka, itu bukan hanya ujian, tapi peringatan keras akibat kesalahan kolektif yang kita biarkan bertahun-tahun.
Sudah saatnya pemerintah menghentikan praktik pembiaran dan memperkuat penegakan hukum lingkungan. Sudah saatnya masyarakat sadar bahwa menjaga alam bukan tugas pemerintah saja. Dan sudah saatnya pelaku usaha berhenti merusak tanah demi keuntungan jangka pendek yang mengorbankan ribuan nyawa di masa depan.
Jika kita terus begini, Sumatera tidak akan hanya “menangis” — suatu hari ia akan berteriak, dan ketika itu datang, penyesalan tak akan ada gunanya.
